Pesan-Pesan

Rabu, 06 November 2013

KEARIFAN LOKAL SUMBER INOVASI DALAM MEWARNAI TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI DI LAHAN RAWA LEBAK



KEARIFAN LOKAL DALAM BUDIDAYA PADI RAWA LEBAK


Lahan rawa lebak telah begitu lama diusahakan untuk pertanian
utamanya tanaman padi, dengan memanfaatkan kondisi menyurutnya air
rawa pada saat menjelang musim kemarau. Masyarakat petani di wilayah
rawa lebak Kalimantan Selatan kondisi air yang menyurut pada musim kemarau tersebut disebut sebagai ”merintak”. Sehingga bertaman padi pada
kondisi tersebut dikenal sebagai tanam padi rintak, dan sawahnya adalah
“sawah rintak”atau “sawah timur”karena bertiup angin timur. Sebaliknya
kondisi air rawa yang merambat naik pada musim hujan disebut sebagai
”menyurung” sehingga bertanam padi lahan lebak pada musim hujan disebut
sebagai padi ”Surung”, sedang sawahnya disebut “sawah surung” atau
“sawah barat” karena pada musim itu bertiup angin barat (Noorsjamsi dan
Hidayat.1970).
Dalam melaksanakan budidaya padi, masyarakat petani telah
memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang telah dijalankan berpuluh tahun.
Kearifan tersebut diantaranya:
1. Memilih lahan subur, pada awalnya masyarakat petani memilih lahan
rawa yang dekat dengan sungai besar untuk bertanam padi, karena
wilayah tersebut selalu mendapat kiriman lumpur subur, yang ditandai
warna tanah hitam gembur, dan telah banyak ditumbuhi oleh jenis
tubuhan air, seperti Kiambang (Salvinia sp) Enceg gondok (Elchornia sp)
dan tanda-tanda khas lainnya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
kedua jenis tumbuhan air tersebut tumbuh baik pada pH di atas 4, dan
kurang baik pada pH kurang dari 4. Selain itu transportasi dari tempat
tinggal ke sawah pulang pergi lebih mudah, terutama untuk kegiatan
pengangkutan hasil. Oleh karena itu hampir semua wilayah lahan lebak
dangkal telah diusahakan untuk pertanian.
2. Memulai kegiatan bertanam, dalam melaksanakan budidaya padi rawa
lebak, petani akan memulai kerja di persawahan berdasarkan tandatanda
alam, diantaranya adalah jika diantara pepohohan (umumnya
mangga rawa atau rerawa) telah terlihat banyak bentangan sulur putih
serangga, dan pohon sejenis pohon dadap telah mulai berkembang,
adalah satu pertanda bahwa musim kemarau akan segera tiba. Sehingga
para petani akan segera mempersiapkan tempat persemaian, dan
persiapan lahan. Sebaliknya jika di sungai-sungai telah mulai kelihatan
perkembangan ikan Seluang (Rasbora agyrotaenia) satu jenis ikan kecilkecil
khas Kalimantan dan Sumatera, adalah sebagai pertanda bahwa
musim hujan akan segera tiba, sehingga persiapan pertanaman padi
sawah surung harus segera dimulai.
3. Sistem persemaian, masyarakat petani sudah paham betul dengan sifat
dan kondisi lahannya, sebagai hasil dari pengamatan dan pengalaman
yang sangat lama. Sehingga timbul kegiatan untuk mengatasi/
menyesuaikan keadaan. Masyarakat petani sudah tahu bahwa menanam
padi bila menunggu keringnya lahan akan terlambat dan berisiko gagal.
Oleh karena itu harus dilakukan percepatan persemaian. Karena
lahannya masih tergenang air, maka persemaian dilaksanakan dengan
dua sistem: (a) Sistem teradak, adalah sistem persemaian kering pada
tempat yang tidak terkena genagan air (teradak) menyemainya dikenal
sebagi “meneradak” dan persemaiannya adalah “teradakan” (b) Sistem
semai terapung atau apung, dilaksanakan di atas lahan yang tergenang air menggunakan rakit dan sebagai media tumbuh bibit maka pada rakit
diberi lumpur rawa. sistem ini dikenal sebagai “Palaian”. Sistem “palaian”
sebenarnya adalah sistem persemaian basah,karena media tumbuh
masih mendapat air dari rawa melalui sistim kapilaritas. Persemaian
apung di Kalimantan Selatan sudah mulai ditinggalkan dan diganti
dengan sistem persemaian kering-basah, tetapi di Sumatera Selatan
masih banyak dilakukan. Selain dua sistem persemaian tersebut di atas,
terdapat sistem persemaian yang dinilai juga merupakan kearifan lokal
yang sangat baik. Sistem tersebut adalah sistem “persemaian pindah”
yaitu bibit yang masih muda dipindahkan dari keadaan kering ke keadaan
basah. Dilakukan dengan cara memindahkan gerombolan bibit padi ke
tepi sawah 15 hari sebelum tanam, sistem ini banyak ditemukan di
wilayah lebak desa Babirik Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan.
Berdasar hasil penelitian dan setelah dilakukan sentuhan teknologi
berupa perbaikan jumlah benih/m2 menjadi 200g/m2 dan umur
pemindahan 10 hari, serta pemupukan, ternyata teknologi persemaian
tersebut dapat memacu pertumbuhan bibit lebih cepat dan sehat (Ar-Riza
dan Noor, 1992).
4. Penyiapan lahan untuk sawah rintak, kearifan lokal ini banyak
dilaksanakan di wilayah lebak Desa Binjai Pirua, Kecamatan Tapus, Hulu
Sungai Utara,. Petani di wilayah ini mempersiapkan sawah rintak dengan
cara membabat dan membersihkan rumput rawa pada saat air rawa
masih dalam, sehingga kawasan terbuka tersebut memberi peluang
berkembangnya tumbuhan air jenis Kiambang atau Kai Apu (Salvinia
mollesta) maupun Salvinia natan), tumbuhan air yang mempunyai dua
cara berkembang biak (stolon dan spora) akan tubuh dan berkembang
pesat menutup lahan. Kearifan lokal ini belum ada namanya, sehingga
penulis memberanikan menyebut sebagai sistem ”Tebas-Tumbuh” Pada
saat air rawa surut maka hamparan populasi Salvinia sp tersebut turun ke
permukaan tanah, dengan populasi yang rapat dan ketebalan bisa
mencapai 15-20 cm. Kemudian petani menanam bibit padi di atas
hamparan Salvinia tersebut, tanaman akan tumbuh bagus dan Salvinia
akan menjadi mulsa yang efektif mengendalikan laju penguapan air
tanah, pengendali gulma yang efektif serta sebagai sumber tambahan
nutrien yang lumintu.
Pada wilayah lain dalam mempersiapkan lahan mempunyai
”kearifan lokal” atau cara yang berbeda tapi nampaknya azas tujuannya
sama yaitu, memepermudah pembukaan lahan dan sekaligus
pemanfaatan gulma untuk memperbaiki lahan pertaniannya, yang dikenal
sebagai sistem ”tebas-kait”.
Yaitu cara membuka lahan untuk budidaya padi rintak dengan cara
rumput ditebas searah dengan sedikit mengikutkan perakarannya,
sehingga hasilnya merupakan lembaran karpet rumput yang selanjutnya
digulung seperti gulungan karpet dan diletakkan di atas pematang.
Setelah kegitan tanam selesai, rumput hasil ”tebas-kait” tersebut disebar kembali diatara barisan tanam, sebagai mulsa/pupu organik. Kegiatan ini
banyak dilakukan oleh petani lahan lebak di wilayah desa Tabat, yang
menurut penuturannya cara ini sudah dilaksanakan secara turun
temurun.
5. Populasi tanam, bertanam padi di lahan lebak yang telah sangat eksis
adalah menggunakan varietas unggul lokal, yaitu varietas yang sudah
beradaptasi sangat baik di lahan lebak, karena sudah dibudidayakan
sejak lama. Varietas ini umumnya berumur dalam, dan tinggi tanaman
umumnya 90cm-120 cm atau ada yang lebih. Tinggi tanaman demikian
karena disesuaikan dengan kondisi air, utamanya untuk pertanaman
musim hujan pada rawa dangkal. Varietas ini mempunyai jumlah anakan
maksimum yang tinggi 20-35 anakan/rumpun, dengan tipe kanopi yang
menyebar, sehingga tidak semua anakan berhasil membentuk malai
akibat tingginya respirasi sehingga net fotosintesa rendah. Untuk
mendapatkan hasil yang baik, masyarakat petani umumnya telah
memiliki pedoman untuk populasi per hektar, yang diterjemahkan dalam
jarak tanam yaitu yang dikenal sebagai sistem tanam ”sedepa empat”,
artinya dalam panjang sedepa yang eqivalen dengan 1,7 m ditanaman
bibit sebayak 4 rumpun, yang jika jaraknya segi empat sama sisi maka
populasi tanaman akan eqivalen dengan 55.363 rumpun /hektar.
Populasi ini telah dilaksanakan sangat lama dan turun temurun. Namun
dalam perkembangan pertanian di lahan lebak, populasi tersebut dinilai
kurang sehingga muncul program upaya khusus (UPSUS) sistem tanam
”sedapa empat” diubah menjadi sistem tanam ”sedepa lima”, atau
”sedepa tambah satu” dan yang terakhir diperkenalkan sistem tanam
”dua sembilan” yang berarti dalam dua depa ditanam 9 rumpun. Populasi
tanam tersebut memang jarang tetapi mempunyai nilai ilmiah karena
tunas anakan yang tinggi dan dan krop kanopinya yang menyebar,
sehingga ilmu tanaman ddalam aspek distribusi sinar matahari dan
bentuk tanaman sebenarnya telah dimiliki dan diterapkan oleh petani
lahan lebak sejak lama sekali. Hal tersebut kiranya tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa Indigenous knowledge, local wisdom tersebut telah
mengispirasi timbulnya ”sistem legowo” (lego dan dowo), ”habas” (hawa
bebas), dan lainnya yang telah berkembang selama ini.
PENUTUP
Lahan rawa lebak memiliki potensi dan prospek besar untuk di
manfaatkan sebagai areal produksi pertanian, khususnya padi dan
merupakan salah satu pilihan strategis bagi peningkatan produksi pangan
nasional dan dapat dijadikan sebagai lahan abadi untuk mempertahankan
produksi pangan nasional.
Petani lokal di lahan rawa lebak Negara, Kalimantan Selatan, sejak
lama dan sudah lebih dari ratusan tahun memanfaatkan lahan rawa untuk bercocok tanam padi, palawija dan berbagai jenis tanaman hortikultura. Padi
merupakan tanam utama dan dapat di kembangkan hampir di semua jenis
lahan rawa lebak dari lahan lebak rawa dangkal sampai ke lahan rawa lebak
dalam. Dengan memahami kondisi lingkungannya dan belajar dari
pengalaman, petani telah berhasil mengembangkan lahan rawa lebak
menjadi daerah pertanian yang subur dan berproduktivitas tinggi, ramah
lingkungan dan kelestarian produksi tetap tinggi yang berlangsung hingga
sampai sekarang ini.
Tulisan ini di harapkan menjadi acuan dalam mengembangkan lahan
rawa lebak khususnya untuk tanaman padi secara lebih arif dengan
memperhatikan kearifan lokal petani dalam mengelola lahan rawa lebak.


KEARIFAN LOKAL SUMBER INOVASI DALAM MEWARNAI TEKNOLOGI
BUDIDAYA PADI DI LAHAN RAWA LEBAK
Isdijanto Ar-Riza, Nurul Fauziati,Hidayat D.Noor
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa


Download Panduan Budidaya Padi Lahan Rawa Lebak
http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/6/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar