Tahun 2014 hanya satu tahun, dalam ekonomi itu hanya short run. Jangka waktu satu tahun itu hanya semusim untuk komoditas tertentu dan dua musim untuk komoditas lainnya. Artinya kita tak akan melihat perubahan teknologi yang terlalu signifikan, juga tak akan ada perubahan besar pada luasan lahan, tambahan kapital, dan tenaga kerja,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Bagaimana memprediksi prospek agribisnis 2014?
Ada baiknya kita lihat secara global dan nasional, baru di tingkat agribisnis.
Secara global masih berada pada ekor krisis global yang dimulai di Amerika
Serikat pada 2008. Lalu berimbas ke Eropa, meluas ke China, India, dan negara
dunia ketiga termasuk Indonesia. Selama 5 tahun ini dampak krisis global di
dalam negeri ada tapi tak terlalu signifikan. Boleh dikatakan tak sampai merusak
perekonomian tapi hanya membuat penyok. Krisis hanya mengubah pertumbuhan
ekonomi kita dari 6% plus ke 5% plus. Kita bersyukur negara kita sudah begitu
tangguh menghadapi keadaan itu.
Di level nasional, populasi tetap tumbuh 1,5% atau bertambah 3,6 juta
jiwa. Pertambahan penduduk ini dari sisi agribisnis adalah potential market.
Ini memberi dampak positif pada agribisnis. Pertumbuhan ekonomi masih di atas
5% berarti ada peningkatan pendapatan yang berdampak naiknya permintaan
komoditas agribisnis.
Tahun depan juga ada hajatan besar, pemilihan legislatif dan presiden.
Hipotesa saya, pencairan bujet pemerintah akan lebih cepat untuk membiayai
hajat besar itu. Barangkali belanja pemerintah hanya naik sebesar rata-rata seperti
biasanya, tapi pencairan makin cepat. Selain itu, pembelanjaan dari parpol, caleg,
dan capres juga meningkat sehingga konsumsi naik. Ini satu faktor penambah demand yang beda dari tahun-tahun
sebelumnya atas produk-produk agribisnis.
Jadi ada pemicu dalam negeri yang membuat pertumbuhan permintaan produk
agribisnis. Pertanyaannya, jika konsumsi produk agribisnis dalam negeri
bertumbuh karena pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, serta hajatan pileg
dan pilpres, siapa akan mengisinya? Ingat, kita sudah menganut ekonomi terbuka,
kebutuhan itu akan diisi agribisnis dalam negeri atau impor. Ini banyak tergantung
kebijakan pemerintah.
Kebijakan yang mana?
Terutama kebijakan perdagangan dan keuangan, khususnya exchange rate
(nilai tukar). Perkiraan saya, nilai tukar kita pada 2014 berkisar Rp 11.000 –
Rp12.000 per US$, naik lebih dari 20% dibandingkan 2012. Perubahan ini tak
hanya berdampak pada agribisnis, tapi juga ke non-agribisnis. Dan memang
perubahan nilai tukar itu dampak kebijakan masa lalu. Kebijakan BI dari dulu
cenderung bias membuat nilai tukar rupiah yang secara artifisial tinggi
dibandingkan mata uang asing mitra dagang kita. Kebijakan ini untuk membantu
sektor industri yang membutuhkan itu. Kini sedang terjadi koreksi pasar
terhadap bias tadi.
Jadi dengan perubahan dari Rp8.500 jadi Rp11.000 – Rp12.000 per US$ akan
terjadi realignment (penyesuaian kembali) dari komposisi impor dan
ekspor, termasuk di bidang agribisnis. Kita juga perlu penyesuaian kembali pada
impor energi. Pertanyaan kita, apakah pada 2014 pemerintah mulai lebih serius
melaksanakan, bukan hanya memikirkan, pengembangan energi terbarukan? Tuntutan
itu makin lama akan makin kuat dan jika tak dilaksanakan akan lebih menyulitkan
perekonomian kita. Ini merupakan salah satu indikator bahwa biodiesel dan bioetanol
akan lebih prospektif pada 2014 dan masa akan datang.
Jadi faktor apa paling berpengaruh?
Yang paling mempengaruhi agribisnis pada masa mendatang adalah perubahan nilai
tukar rupiah. Sebenarnya beberapa tahun belakangan ini agribisnis sudah
dirugikan dengan kebijakan nilai tukar rupiah yang artifisial kuat. Dengan
kebijakan itu desakan impor akan makin menguat dan tak mengherankan jika
beberapa tahun belakangan ini kita dibanjiri produk pangan impor. Agribisnis
dalam negeri jadi korban kebijakan yang bias melalui nilai tukar rupiah yang artifisial
kuat untuk membantu sektor non-agribisnis.
Dalam kaitan dengan nilai tukar mata uang ini, agribisnis bisa kita kelompokkan
menjadi: agribisnis pengekspor, agribisnis pengimpor, agribisnis yang
kadang-kadang mengimpor dan mengekspor. Dengan nilai tukar rupiah melemah ini kita
masuk agribisnis pengekspor yang sebagian besar produsen akan mendapat ‘durian
runtuh’, terutama produk orientasi ekspor, seperti sawit, karet, kakao, kopi, dan
teh. Kebalikannya terjadi pada komoditas impor, seperti beras, jagung, kedelai,
gula, garam, dan sapi akan berkurang. Itu artinya bila impor berkurang dan
harga naik, maka produksi dalam negeri akan meningkat. Dan secara umum harga
produk agribisnis cenderung meningkat di masa akan datang.
Jadi agribisnis pada 2014 akan memberi kesempatan bagi komoditas ekspor dan substitusi impor.
Tergantung pada pelaku agribisnis, petani dan pengusaha, memanfaatkannya. Kita
berharap pemerintah tak membuat kebijakan yang bertentangan dengan prospek yang
lebih baik buat agribisnis yang sudah lama menderita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar